Selasa, 27 November 2012

Critical legal Studies 2

CRITICAL LEGAL STUDIES*

Sejarah Gerakan Critical Legal Studies.
Critical Legal Studies adalah suatu gerakan oleh akademisi hukum beraliran kiri(leftist), yang lahir karena pembangkangan atas ketidakpuasan terhadap teori dan praktek hukum yang ada pada dekade 1970-an, khususnya terhadap teori dan praktek hukum dalam bidang-bidang :
  1. pendidikan hukum
  2. pengaruh politik yang sangat kuat terhadap dunia hukum
  3. kegagalan peran hukum dalam menjawab permasalahan yang ada
Critical Law Studies mulai eksis dalam dekade 1970-an yang merupakan hasil dari suatu konferensi tahun 1977 tentang Critical Legal Studies di Amerika Serikat, sedangkan di Inggris gerakan Critical Legal Studies dibentuk pada tahun 1984.
Pada koferensi Critical Legal Studies tahun 1974 dibicarakan tentang adanya kesenjangan yang besar antara hukum dalam teori (law in box) dengan hukum dalam keyataan (law in action) dan kegagalan dari hukum dalam merespon masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat.
Latar belakang lahirnya ajaran Critical Legal Studies adalah fokus sentral pendekatan Critical Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi hukumyang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untukmmengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan (peter fitzpztrick, 1987: 2).

Konsep Critical Legal Studies
Aliran Critical Legal Studies meiliki beberapa karakteristik umum sebagai berikut
1.      Aliran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang berlaku yang nyatanya memihak ke politik, dan sama sekli tidak netral
2.      Ajaran Critical Legal Studies ini mengkritik hukum yang sarat dan dominan dengan ideologi tertentu
3.      Aliran Critical Legal Studies ini mempunyai komitmen besar terhadap kebebasan individual dengan batasan tertentu, karena aliran ini berhubungan dengan emansipasi kemanusiaan
4.      Ajaran Critical Legal Studies ini kurang mempercayai bentu-bentuk kebenaran yang abstrak dan pengetahuan yang benar-benar obyektif. Karena itu ajaran Critical Legal Studies menolak keras ajaran-ajaran dalam positivisme hukum
5.      Aliran Critical Legal Studies ini menolak perbedaan antara teori dan praktek, dan menolak juga perbedaan antara fakta dan nilai, yang merupakan karakteristik dari paham liberal.
Pada prinsipnya aliran Critical Legal Studies menolak anggapan ahli hukum tradisional yang mengatakan :
Ø  Hukum itu objektif
Ø  Hukum itu sudah tentu
Ø  Hukum itu netral
Aliran hukum kritis mempunyai pandangan :
  • Hukum mencari legitimasi yang salah
  • Hukum dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi
  • Tidak ada yang namanya prinsip-prinsip dasar dalam hukum
  • Hukum tidak netral
Dengan kata lain Critical Legal Studies berada dalam posisi meminjam istilah Inul oposisi, sehingga aliran ini tidak akan pernah berhenti untuk bergerak dan terus mengkritisi hukum yang ada, karena jika aliran ini terdiam maka aliran ini akan kembali terjebak pada positivisme hukum
Berangkat dari pemikiran dan gejolak sosial, critical legal study dipengaruhi oleh tiga pilar: ajaran kiri baru mazhab Frankfurt, ajaran postmodern dan ajaran realism hukum. Ajaran yang ditegaskan melalui criticical legal study didominasi oleh krtik terhadap metanarasi-metanarasi yang mengagungkan objektivisme, formalisme dan positivisme.
Oleh karena aliran critical legal study dipengaruhi oleh ajaran kiri, maka aliran ini melakukanstudy terhadap ketidakpercayaan aturan, perundang-undangan yang dibuat oleh negara. Legislatif merancang undang-undang dipengaruhi oleh dua kepentingan antara relasi kuasa dan pasar (ekonomi). Dalam perundang-undangan kemudian sengaja diciptakan bahasa perundang-undangan yang “bias”, dan  dapat ditafsirkan berdasarkan kepentingan penguasa. Hakim menafsirkan pasal-pasal berdasarkan kehendaknya sendiri. Karena bagi critical legal study, seorang hakim sulit dilepaskan dari pengaruh dan gejala politik  sertapsychologys ketika menjatuhkan putusan dalam perkara di pengadilan.
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti – liberal, antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.
 Latar Belakang Lahirnya Critical Legal Studies
fokus sentral pendekatan Critical Legal Studies adalah untuk mendalami dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum, dan praktek institusi hukumyang menopang dan mendukung sistem hubungan-hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajaki peran hukum dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan sosial yang dapat mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan (peter fitzpztrick, 1987: 2).
                Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran critical legal studies datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.
                Aliran critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme hukum.
Critical Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum
                Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.
                Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

C.  Critical Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum
                Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi terhadap aliran-aliran hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya tersebut sangat berpegang pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor politik dan moral, dengan mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak individual dan penyandang kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan politik dan sosial di antara para anggota masyarakat.
                Di samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif, karena hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara bertugas untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim di pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya, seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.

D. Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum
                Aliran critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
                Selanjutnya, kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan kaurn adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan baik.
                Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai berikut: Teori marxist dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori critical race, Teori radical criminology.

E.. Critical Race Theory ( Race – Crits )
                Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan critical legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies, yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.

F.  Respons dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies
                Sebagai suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal studies ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara respons yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah responsns dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal dalam hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies ini, baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang didapati. Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil oleh aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal malahan overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang tidak menyetujuinya.

Critical Legal Studies Tentang Kekuasaan dan Masyarakat

A.            Peranan Hukum dalam Masyarakat
            Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kacaunya masyarakat jika hukum tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.

Critical Legal Studies Menurut Roberto Unger
 A.            Kritik Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme
               Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
                Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat (Roberto Unger, .1986: 11).

B.            Konsep – Konsep dari Aliran Critical Legal Studies
                Telaahan dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.
                Para pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.

C.            Program – program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies
                Para penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.


FILSAFAT HUKUM INDONESIA
Tujuan dari filsafat hukum indonesia :

FILSAFAT HUKUM INDONESIA

FILSAFAT HUKUM INDONESIA


Tujuan dari filsafat hukum indonesia :
1.      Pengembanan hukum (rechtsbeoefening) adalah semua kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat.
Pengembanan hukum dbagi mjd 2: 
-          Secara teoritis
-          Secara praktis
2.      Pengembanan teoretis
Didalam pengembanan teoritis ini, terdiri dari 3 bagian disiplin hukum yang terbagi atas
-          Ilmu hukum
Bersifat konkrit karena menyangkut teori tentang hukum positif
-          Teori hukum
-          Filsafat hukum. 
Bersifat abstrak karena terlepas dari hukum positif suatu negara.
Tujuan filsafat hukum adalah untuk mencari hakikat hukum dengan merefleksikan hukum secara umum,bukan pada norma positifnya. Mempunyai dasar legitimasi atau kekuatan mengikat.

Cita hukum
Mempunyai 2 fungsi :
1.      Konstitutif : untuk menentukan segi formalitas (dasar legitimasi)
2.      Regulatif : untuk mengarahkan penentuan muatan norma hukum.
Pancasila sebagai Rechtsidee atau cita hukum bisa mempengaruhi asas-asas hukum nasional, hukum positif, praktik hukum dan juga bisa dipengaruhi oleh civil law system, common law system, dll
Legitimasi dapat dilihat dari piramida tersebut.
Legitimasi terdiri dari :
-          Eksklusi
Berasal dari kata eksklusif. Tolak ukur hukum itu legitimate, harus bisa dibedakan dengan yang non eksklusif.
-          Derogasi
Hukum harus bisa dipastikan mana yang lebih didahulukan 1 dengan yang lainnya
-          Subsumsi
Ada hierarki
-          Non kontradiksi
Tidak boleh adanya pertentangan dalam suatu hierarki

Dalam pembukaan UUD 1945 :
Pokok-pokok pikiran :
-          Negara persatuan : negara apa yang dibentuk
-          Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat : merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai negara
-          Negara berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan : ada wakil-wakil rakyat dan pemimpin yang dipilih secara demokratis oleh rakyat
-          Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. : Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari agama semua yang sudah diatur tersebut dikembalikan lagi kepada agama.
Dalam pembentukan sistem hukum nasional, sistem hukum melihat hukum sebagai pola perilaku sosial mikro yang artinya melihat pergerakan hukum dari kasus per kasus. Dalam posisi Medespeler pertama, menganggap hukum adalah asas kebenaran-keadilan ( filsuf hukum, iluwan, teoritisi) yang alirannya disebut sebagai aliran hukum kodrat. Medespeler kedua melihat hukum sebagai undang-undang, seperti hakim, pengacara, pembentuk UU, yang alirannya disebut aliran positivisme hukum dan utilitarianisme. Dalam posisi Medespeler dan medespeler, melihat hukum adalah putusan hakim in concreto, alirannya disebut sosiological jurisprudence. Dalam posisi sistem lain atau Toeschouwer seperti sejarahwan, sosiolog, antropolog, dll melihat hukum sebagai pola perilaku sosial makro yang melihat pergerkan hukum dari waktu ke waktu yang alirannya disebut aliran mazhab sejarah.
               Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang beranekaragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung)masing-masing. Di dalam kenyataansuatu negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara, berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm). Nilai fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa  karena nilai ini menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan
merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat hidup(wealtanchauung) bangsa itu sendiri.
Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya bertujuanuntuk menegakkan perlindungan hukum (iustitia protectiva). Hukum dan cita hukum (Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan peradaban manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hukum (Rechtidee) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi cita dan citra moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan senantiasa terpadu dengan asas kepastian hukum(Rechtssicherkeit) dan kedayagunaan hukum (Zeweckmassigkeit). Tiap makna dan jenis keadilan merujuk nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan komutatif, distributif maupun keadilan protektif demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin warga negara, yang pada hakikatnya demi harkat dan martabat manusia. Hukum dan keadilan sungguh-sungguh merupakan dunia dari trans empirical setiap pribadi manusia.
Hukum dan cita hukum (keadilan) sekaligus merupakan dunia nilai dan keseluruhannya sebagai fenomena budaya. Peranan filsafat hukum memberikan wawasan dan makna tujuan hukum sebagai cita hukum (rechtidee). Cita hukum adalah suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus suatu apriori yang bersifat normatif sekaligus konstitutif, yang merupakan prasyarat transendental yang mendasari tiap Hukum Positif yang bermartabat, tanpa cita hukum (rechtidee) tak akan ada hukum yang memiliki watak normatif (Rouscoe Pound, 1972: 23).
Cita hukum (rechtidee) mempunyai fungsi konstitutif memberi makna pada hukum dalam arti padatan makna yang bersifat konkrit umum dan mendahului semua hukum serta berfungsi membatasi  apa yang tidak dapat dipersatukan. Pengertian, fungsi dan perwujudan cita hukum (rechtidee) menunjukkan betapafundamental kedudukan dan peranan cita-cita hukum adalah sumber genetik dari tata hukum (rechtsorder). Oleh karena itu cita hukum (rechtidee) hendaknya diwujudkan sebagai suatu  realitas. Maknanya bahwa  filsafat hukum menjadi dasar dan acuan pembangunan kehidupan  suatu bangsa serta acuan bagi pembanguan hukum dalam bidang-bidang  lainnya. Kewajiban negara untuk menegakkan cita keadilan sebagai cita hukum itu tersirat didalam asas Hukum Kodrat yang dimaksud untuk mengukur kebaikan Hukum Positif, apakah betulbetul telah sesuai dengan aturan yang berasal dari Hukum Tuhan, dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dengan kebaikan Hukum Etis dan dengan asas dasar hukum umum abstrak Hukum Filosofis.
Hukum berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tertib. Hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan melalui  penegakkan hukum. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan adanya kepastianhukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tertib, aman dan damai. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik, benar akan mewujudkan keadaan yang tata tentrem raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, denganperlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan

Sumber dari segala sumber hukum adalah sumber hukum tertingggi yang berbeda-beda pada tiap Negara. Dinegara yang menganut system teokrasi sumber tertib hukum tertinggi adalah ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahtyu dan tertuang dalam kitab suci. Pada Negara yang menganut system hukum rechtstaat sumber hukum tertinggi adalah kekuasaan dari para penguasa. Hans Kelsen mengatakan bahwa norma hukum yang lebih rendah berlaku atas dasarnorma yang lebih tinggi kedudukannya, dan seterusnya yang pada akhirnya akan berhenti pada suatu norma yang disebut grundnorm. Di Indonesia sumber dari sumber hukum tertinggi adalah kedaulatan rakyat, dan pancasila adalah sumber tertib hukum tertinggi bagi hukum, karena Pancasila dibentuk oleh lembaga Negara yang mewakili seluruh kehendak rakyat Indonesia. Disamping hukum tertulis berupa undang – undang, masih terdapat hukum lain yang tidak tertulis yang harus diakui, yaitu Hukum Adat yang mencerminkan kepribadian bangsa. Untuk menemukan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia maka hukum – hukum tidak tertulis harus diperhatikan. Menurut ketetapan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966, wujud dari sumber dari segala sumber hukum adalah :
1. Proklamasi kemerdekaan 1945
2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959
3. UUD 1945
4. Supersemar

Tata Urutan Peraturan Perundang – undangan
Berdasarkan MPRS No. XX/ MPRS/ 1966 disebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang – undangan adalah sebagai berikut :
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU / Peraturan pemerintah pengganti UU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan – peraturan pelaksana lainnya seperti
- Peraturan Menteri
- Instruksi Menteri
Teori Stufen Theory dari Hans Kelsen mengatakan bahwa norma yang lebih rendah berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, hingga pada norma dasar tertinggi yaitu Grundnorm yang harus diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih lanjut.
Pancasila adalah dasar Negara Indonesia yang digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Karena Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, maka semua aturan hukum yang ada di Indonesia harus mencerminkan kesadaran dan keadilan sesuai dengan kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia.



Realisme Hukum

Realisme Hukum

Aliran filsapfat ini merupakan pemikiran-pemikiran pada zaman postmodern, yakni pada abad 20. Realisme hukum ini dimulai dari realisme yang ada di physical world bukan yang ada pada platonic world. Menjadi latar belakang terbentuknya atau lahirnya realisme hukum ini yakni:

a.       Adanya gugatan terhadap nilai-nilai tradisional yang dipelihara dan sudah mapan (dianggap memang seharusnya seperti itu), yakni nilai-nilai yang menganggap bahwa hukum itu ideal.
b.      Karena berkembangnya ilmu-ilmu perilaku, seperti sosiologi dan psikologi yang membuat masyarakat disetir oleh mitos-mitos seperti agama.
c.       Akibat dari laporan-laporan hasil survei terhadap kinerja hukum yakni aturan hukum dan penegak hukum.

Terdapat sembilan titik tolak untuk menjadi seorang realis, yakni:

1.      Konsepsi bahwa hukum itu bergejolak, selalu bergerak dan selalu ada kreasi atau hukum tidaklah pernah tenang.
2.      Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial, yakni hukum adalah untuk masyarakat.
3.      Konsepsi bahwa masyarakat juga bergejolak dan gejolaknya lebih dahsyat dan lebih cepat dari pada hukum.
4.      Pada dasarnya tidak mau membedakan “is” dan “ought” karena hukum adalah hukum. Karena ought itu tidak pernah ada yang ada hanyalah is yakni fakta.
5.      Tidak percaya pada aturan-aturan hukum dan konsep-konsep tradisional. Karena tidak bisa menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Dan tidak percaya bahwa hukum bisa percaya bahwa hukum bisa ditegakkan hukum 100%, karena bisa ada transaksi didalamnya.
6.      Tidak mempercayai teori yang mengatakan bahwa aturan-aturan preskriptif tradisional dijadikan acuan dalam merancang putusan pengadilan.
7.      Harus memulai dari analisis mikro kalau ingin menganalisis secara benar. Karena dari hal-hal kecil tersebut dianggap penting.
8.      Selalu ingin mengevakuasi efek dari hukum karena harus memiliki dampak dalam masyarakat.
9.      Karena adanya saringan yang terfokus, terprogram, dan berkelanjutan terhadap problem-problem hukum yang menawarkan solusi yang konkrit.

Bila dipersempit, ke sembilan hal tersebut dapat menjadi:

1.      Realisme hukum menjadi aliran yang menyerang formalisme hukum (positivisme hukum)
2.      Hukum haruslah dikreasikan dan dibuat oleh hakim atau hakim yang menjadi motor.
3.      Hukum menjadi alat untuk mencapai tujuan sosial
4.      Hakim juga manusia. Sehingga tetap harus berhati-hati dengan hakim.

Macam-macam dalam realisme hukum terbagi menjadi:

a.       Amerika
Yakni ada Rule skeptics dengan tokoh yakni Holmes, Karl Liewellyn adalah aliran yang demi kebaikan. yakni menyatakan bahwa adanya keraguan terhadapa niat baik dari pembuat undang-undang. Lalu terdapat pula aliran Fact skeptics dengan tokoh Jerome Frank yakni mengemukakan bahwa sama sekali tidak mempercayai atau meragukan fakta.
b.      Skandinavia yang mengemukakan teori Metaphysic Skeptics. Berlaku pada wilayah Eropa utara dengan sistem hukum civil law.

Dasar berpikir dari Realisme hukum dikemukakan oleh beberapa tokoh yakni:

1.      Oliver Wendell Holmes Jr (1841-1935)
Menyatakan bahwa hidupnya hukum tidaklah logis karena merupak suatu pengalaman. Lalu, hukum harus dilihat dari sudut pandang orang yang buruk dan ketetapan yang dikeluarkan pengadilan pada kenyataannya tidak lebih istimewa dari hukum.
2.      Karl Liewellyn
Menyatakan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang mengejakan tentang penyelesaian sengketa.
3.      Jerome Frank (1869-1957)
Yakni tidak perlu selalu menjaga prekredibilitas putusan, hakim membuka diri untuk memutuskan berbeda di tiap kasus.Paling ekstrem Menurut Frank, Holmes dan Llewellyn dinilainya hanya RULE SKEPTICS, seorang realis harusnya FACT-SKEPTICS. Skeptisme kaum realis :
Apakah mungkin ada aturan yang berlaku general sebagai PREMIS MAYOR? Rule-skepticism karena :
-   Hukum tidak bekerja seperti bunyi undang-undang
-   Konsep “the rule of law” hanyalah teoritis; yang berlaku “the rule of the ruler”
-   The have always comes out ahead

Fact Skeptics
Apakah ada kemampuan secara tepat merekonstruksi fakta-fakta sebagai PREMIS MINOR? (karena fakta-fakta diarahkan menurut rancangan si pembuat undang-undang. Sehingga ukurannya adalah:
a.       Setiap kasus adalah unik adanya fakta kemajemukkan yang harus diperhatikan.
b.      Hukum ditentukan oleh struktur kasus atau pendekatan mikro.
c.       Kemampuan merekonstruksi fakta makin jauh setelah kasus memasuki pengadilan banding.