Minggu, 25 November 2012

Aliran Berpikir Filsafat


Aliran-Aliran  Berpikir Filsafat
Materialisme
Realitas ada karena materi. Materi itulah yang abadi sebagai realitas.
Contoh:
·         Demokritos (460-370 SM) : sebagai pencetus teori atom.
Sesuatu yang ada (materi) hanya lahir dari materi. Materi terkecil adalah atom, bergerak dalam ruang kosong dan dinamis. Tercipta hukum-hukum alam.
·         Didukung oleh Thomas Hobbes (1588-1679).
Semua fenomena adalah materi, termasuk kesadaran dan jiwa (berasal dari gerakan partikel kecil dalam otak) disebut mekanisme.
·         Diperkuat Isaac Newton (1642-1727).
Menemukan prinsip mekanisme yang sama dalam alam. Tak ada kehendak bebas, semua sudah ditentukan disebut determinisme.

Alam semesta bekerja melalui mekanisme tersendiri. Gerakan materi-materi.
Karl Marx (1818-1883) menghubungkan pertumbuhan sejarah dengan ekonomi. Menurut Hegel, sejarah digerakkan oleh dialektika ide-ide, perubahan materi karena perubahan ide (Idealisme). Sedangkan menurut Marx, sejarah digerakkan oleh dialektika materi, perubahan ide karena perubahan materi (materialisme).

Dalam sejarah, “ide” selalu hadir karena ada materi. Kekuasaan riil atas materi (ekonomi) mengubah sejarah yaitu materialism historis. Dasar masyarakat: hubungan dialektika antara materi, ekonomi, dan sosial merupakan materialism dialektik. Dasar tersebut tercermin dalam suprastruktur masyarakat, berupa agama, seni, filsafat, hukum, lembaga, dan lain-lain.

Menurut Charles Darwin, manusia adalah materi yang berevolusi melalui proses dialektika. Hanya yang bisa menang dalam berevolusi yang bisa bertahan.

Menurut Ludwig Feuerbach, teori proyeksi (manusia memproyeksikan keinginannya dalam berbagai bentuk, salah satunya: Tuhan (antropoteisme). Jadi, sesuatu yang nonmateri = hasil proyeksi semata (ilusi).

Menurut Karl Marx, penguasa materi adalah penguasa dalam sejarah. Teori sosial politis (proyeksi tentang Tuhan tercipta akibat tekanan masyarakat. Untuk itu, struktur masyarakat perlu diubah. Agama adalah candu).

Menurut Sigmund Freud, psikoanalisis membuktikan manusia yang menyakini sesuatu yang nonmateri adalah penderita gangguan jiwa.

Menurut Nietzsche, untuk dapat memenangkan persaingan, manusia harus berperilaku sebagai tuan, bukan budak.

Menurut Feuerbach dalam mengkritik teologi kristiani yang dalam bukunya Essence of Chrisianity. Teologi = antropologi yaitu ketika manusia berbicara tentang realitas Tuhan, sesungguhnya manusia berbicara tentang dirinya sendiri; manusia membutuhkan objek adalah manifestasi hakikat manusia; tuhan adalah objek kesadaran manusia tentang kemanusiaannya (baik-buruk, suci-dosa, dan lain-lain); tetapi kesadaran ini dirusak oleh agama formal-monoetis karena menarik demarkasi antara manusia dan tuhan; logika agama adalah oposisi biner yaitu untuk menegatifkan manusia perlu Tuhan yang positif, untuk menyatakan manusia mahluk berdosa perlu Tuhan yang mahasuci. Jadi, agama telah mengasingkan manusia dari kemanusiaannya).
Menurut Sigmund Freud, manusia terdiri dari unsur rasional dan irasional; unsur irasional ada di alam bawah sadar manusia. Dalam unsur irasional terdiri dari instink, berupa: instink untuk hidup (eros=seks) dan instink untuk mati (thanatos=agresif, destruktif, dan lain-lain).

Idealisme
Realitas ada karena ide (gagasan). Ide itulah yang abadi sebagai realitas. Contoh: Plato (428-347 SM), pasti ada realitas di balik dunia materi. Itulah bentuk (pola) yang abadi = ide.
Dalam pemikiran Plato, melihat dua sisi dunia yaitu dunia idea (objek bagi rasio / tidak berubah) atau disebut platonic world. Dunia fisik; semu (objek bagi indra atau selalu berubah) disebut dengan physical world. Alam fisik di dunia adalah baying-bayang dari alam yang ideal. Jadi yang real menurut Plato adalah Platonic World. Dari aspek ini, Plato tidak sepenuhnya bisa dianggap penganut idealisme, melainkan lebih sebagai dualisme.
Contoh lainnya: menurut Hegel (1770-1831), ide = pikiran, roh terus bekerja, berubah, berdialektika (dialektikadalam bahasa Yunani = dialog) disebut idealism- spritualisme.
Kelahiran = tesis , kematian = antithesis, dialektika ini adalah proses menjadi kearah yang lebih baik. kehidupan (makin berkualitas) = sintesis.
Menurut Immanuel Kant (1724-1804), kesadaran manusia terdiri dari:
·         Thinking        rasio murni (alam / law of nature).
·         Volition        moralitas (memungkinkan adanya kebebasan / law of moral). Dalam filsafat lebih di pakai.
·         Feeling        estetika (menilai / power judgement).
Contoh:
ü  Ada garis pembatas antara benda itu sendiri (das Ding an sich) dan benda yang teramati (benda itu bagiku).
ü  1 = materi pengetahuan, 2 = bentuk pengetahuan.
ü  Kita memang tidak tahu pasti apa yang kita alami, tetapi kita dapat mengetahuinya yang terjadi ada dalam ruang dan waktu, berlaku hukum kausalitas.

Rasionalisme
Sumber pengetahuan adalah rasio (akal budi) manusia.
Tokoh rasionalisme yang terkenal dengan slogan “Cogito ergo sum” pada zaman modern yaitu Rene Descartes (1596-1650):
·         Mulailah dari keraguan (skeptisisme)
·         Cogito ergo sum, rasio adalah indicator kebenaran yang universal (logika), bahkan indicator baik-buruk secara moralitas (etika)
·         Metodenya harus pasti, yakni metode matematika      skeptisisme metodikal (metodologikal) = menggunakan keraguan untuk mencapai pengetahuan sejati.
·         Berangkat dari intuisi (sesuatu yang tak terbantahkan secara rasional) dan deduksi.
Ada tiga persyaratan keyakinan Descartes yaitu:
1.      Kepastian = kemustahilan untuk dibantah, harus rasional, jelas, dan berbeda dari keyakinan lainnya. Rasio manusia mampu melakukan ini karena sudah bawaan (teori ide innate), contoh: kepastian tentang Tuhan, benda-benda fisik, hukum kausal.
2.      Kepastian = keyakinan terakhir, tidak digantungkan pada keyakinan lainnya.
3.      Kepastian = harus tentang sesuatu yang eksis.

Empirisme
Sumber pengetahuan adalah pengalaman manusia, melalui observasi inderawi.
Menurut John Locke (1632-1704), dua pertanyaan besar Locke:
1.      Dari mana kita mendapat pengetahuan kita?
2.      Apakah kita dapat mempercayai  hasil pengamatan indera kita?

1.      Tak ada ide bawaan. Tabula rasa. Pengalaman itulah yang direfleksikan menjadi ide yaitu pengetahuan sederhana.
2.      Apa yang didapat dari indera itu, tidak ditanggapi pasif oleh rasio. Rasio mengolahnya yaitu pengetahuan kompleks.
Tapi ada juga pengetahuan yang objektif (kualitas primer), seperti: luas, berat, gerakan, dan jumlah (mengikuti Descartes). Indera manusia pada umumnya sampai pada subjektivitas (kualitas sekunder).
Tabula rasa merupakan papan yang diratakan, terjemahan bebas: papan yang masih bersih.
Rado, rasi rasum: menggores, mengikis, meratakan, melicinkan. Dulunya orang Romawi menulis pada papan (tabula) lilin yang mudah dihapus.
Menurut George Berkeley (1685-753), pengalaman bukan mempersepsikan fisik benda, tetapi persepsi tentang sifat (kaulitasnya) saja. Jadi, tak ada kulaitas primer, yang ada kualitas sekunder saja.
Menurut David Hume (1711-1776), ada dua jenis persepsi manusia yaitu:
1.      Kesan = persepsi inderawi (dengan kesadaran tinggi).
2.      Gagasan = ingatan atas persepsi itu.
Gagasan & kesan terdiri dari:
1.      Gagasan sederhana (tunggal), muncul dari kesan sederhana, langsung terkait dengan satu konsep tertentu.
2.      Gagasan kompleks, muncul dari kesan kompleks. Tak terakit langsung pada satu konsep, tetapi bisa dipecah menjadi banyak gagasan sederhana.
Jadi, jika tidak ada kesan, tidak ada gagasan. Jika ada gagasan tanpa kesan, gagasan itu tanpa makna. Terapka untuk gagasan: Tuhan, surga, dan lain-lain.
Manusia terbiasa membuat gagasan-gagasan kompleks, melaalui tiga cara, yakni atas dasar:
1.      Kemiripan
Gagasan tentang figure Aristoteles
Gagasan tentang pemikiran Aristoteles
2.      Kedekatan
Gagasan tentang kuda yang berlari
Gagasan tentang pemikiran Aristoteles
3.      Kausalitas
Gagasan tentang luka
Gagasan tentang rasa sakit
Gagasan kompleks = kebiasaan dan harapan. Hukum kausal = harapan. Antara saya dan anak berusia 2 tahun, siapa yang lebih senang melihat pertunjukkan sulap?
Gagasan yang paling tinggi adalah gagasan kompleks, sedangkan gagasan dibangun dari empiris.

Positivisme
Positivisme identik dengan empirik. Keterkaitan antara rasio dengan empirik yaitu mempunyai hubungan emosi. Imanen itu lawan dengan transenden.
Menurut August Comte, hukum terdapat tiga tahap dalam peradapan manusia yaitu:
1.      Tahap teologis (fiktif)
2.      Tahap metafisis (abstrak)
3.      Tahap positivis (riil)
Yang tertinggi adalah tahap positivis. Sehingga positivisme menjadi main stream dari zaman modern.
Positif berarti :
·         Kenyataan (khayal)           objek kajian tunggal
·         Kepastian (keraguan)          keseimbangan logis
·         Ketepatan (kekaburan)          kejelasan pengertian
·         Kemanfaatan (sekedar rasa ingin tahu)          penataan, penertiban

5 asumsi dasar positivism yaitu:
1.      Logiko empirisme
Kebenaran = pembuktian lewat empiri
2.      Realitas objektif
Satu realitas saja! Subjek-objek terpisah (tiada tempat untuk interpretasi subjektif). Jadi dalam realitas objektif tidak ditentukan subjek tetapi objeknya.fungsi realitas objektif diharapkan objeknya tunggal.

3.      Reduksionisme
Setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil. Jika tidak, itu bukan realitas (misal: Tuhan). Reduksionisme pada zaman modern diarahkan ke hukum-hukum fisika (menuju unified science). Reduksionisme dapat diamati dengan bagian-bagian terkecil. Reduksionisme pertama mengacu objek itu apa dan mengantarkan logical positivism ke aliran filsafat hukum. Jadi reduksionisme itu objek pengetahuan.

4.      Determinisme
Keteraturan dunia karena hukum kausalitas yang linear. Dengan ilmu, dunia dapat dikendalikan!
Determinisme tidak ada kebebasan. Determinisme itu aliran yang sudah ditetapkan melalui hukum-hukum kausalitas. Determinisme perlu dikuasai oleh siapapun agar bisa dikontribusi dari pihak manapun.
5.      Asumsi bebas nilai
Asumsi bebas nilai merupakan konsekuensi logis dari realitas objektif.
Tak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai tak relavan. Ilmu selalu bebas nilai!

Intuisionisme
Indikasi intuisi bekerja yaitu:
1.      Frekuensi terjadinya peristiwa itu sangat jarang (langka)
2.      Datangnya tidak dapat diprediksi
3.      Subjek mengenal secara mendalam peristiwa yang tengah dihadapi
4.      Subjek menangkap sinyal-sinyal tidak lazim
5.      Semua diproses dalam alam bawah sadar
6.      Muncul perasaan tidak tenang
7.      Yakin

Memori dalam alam bawah sadar, tanpa disadari otak menyimpan banyak data sebagai memori. Data ini dapat menuntun kita untuk bertindak secara intuitif.

Intuisionisme menurut Henry Bergson (1859-1941), intuisi sebagai filsafat hidup. Intuisi merupakan naluri yang tak terpengaruh, sadar diri, mampu merenungkan objeknya dan memperluasnya secara tak terbatas.
Intuisionisme menurut Edmund Husserl (1859-1938), intuisi fenomenologis. Fenomena (gejala) hanya mungkin ditangkap dengan intuisi (tanpa melalui tahap-tahap penyimpulan inferensial).

Fenomenologi itu melihat segala sesuatu sebagai gejala (ilmu pun gejala = bentuk tertentu kesadaran manusia). Apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri.
Fenomenon merupakan sesuatu yang tampak (phainomai dalam bahasa Yunani) yaitu memperlihatkan diri.
Edmund Husserl (Ceko, 1859-1938) sebagai pelopor, dikemabangkan oleh Max Scheler (1874-1928), Martin Heidegger (1889-1976), Sartre (1905-1980), Marleau Ponty (1908-1961).
Husserl: “Zu den Sachen selhst” (kembali ke benda-benda itu sendiri). Objek-objek harus diberi kesempatan untuk berbicara.
Femenologi mencari Wesenschau (melihat secara intuitif hakikat dari gejala-gejala). Supaya intuisi dapat menangkap hakikat objek-obejk itu, diperlukan tiga reduksi yaitu:
1.      Reduksi fenomenologis; singkirkan segala sesuatu yangsubjektif. Apa yang merupakan hakikat (nilai, konsep) ditentukan oleh objek itu sendiri. Biarkan objek itu sendiri yang bicara. (melalui relasinya dengan objek lain).
2.      Reduksi eiditis; singkirkan pengetahuan yang terlanjur ada tentang objek itu, termasuk hipotesis. Dengan cara ini, kita dapat mencapai yang inti, bukan yang masih ragu-ragu.
3.      Reduksi transenden; singkirkan seluruh tradisi pengetahuan.
Pada abad ke-20, Intuisi makin berperan dalam mencerna pengetahuan. Tidak ada realitas yang objektif, yang ada hanya fenomena. Dalam fenomenologi, manusia bukan pusat segalanya. Ada banyak pusat. Eksistensi ditentukan oleh ko-eksistensi. Pengetahuan adalah kontruksi logika atas data inderawi (baik yang factual maupun yangbersifat mungkin). Jika dibandingkan dengan eksistensialisme, dimana manusia adalah ukuran segala yang eksis. Keberadaan benda lainnya baru bermakna dalam kaitannya dengan manusia (=eksistensialisme). Hakikat manusia ditentukan eksistensi masing-masing individu itu selama di dunia. Jadi, yang ada hanya hakikat manusia konkret masing-masing (individu, subjektif). tidak ada hakikat manusia pada umumnya. Pngetahuan adalah subjekti, interperatif.
Etika Deontologis: ukuran baik-buruk di ukur langsung dari tindakan fisik. Menurut Kant, moralitas memerlukan keadilan, yang hanya dapat ditetapkan oleh Tuhan. Jadi, nilai moral hanya ada selama manusia bertindak atas dasar rasa kewajiban yang disebut imperative kategoris (lawan dari imperatif hipotesis). Kewajiban moral, keharusan.
Disebut de-ontologi karena etika ditempatkan sebagai displin otonom, bukan sains dan ontologism. Deon dalam bahasa Yunani yang berarti Kewajiban.
Beberapa kutipan etika deontologist yaitu:
1.      Menurut Kant (Formalism): “benar adalah kehendak rasional dari tugas seseorang untuk sebuah kewajiban”.
2.      Menurut Epictetus (Stoisisme): “benar adalah kepasrahan terhadap kewajiban dan tidak peduli terhadap akibatnya”.
3.      Menurut ST. Paul (Etika Kristen): “benar adalah ketaatan kepada kehendak Tuhan”.
4.      Menurut Royce (Idealisme): “benar adalah loyalitas untuk kepentingan loyalitas itu sendiri”.
5.      Menurut Butler (Intuisionisme): “setiap orang dapat menemukan hukum benar dalam dirinya dan rasa kewajiban untuk melakukannya”.
Dua kriteria etika deontologist yaitu:
1.      Deontologis Tindakan: dalam keadaan ini, saya harus melakukan ini dan memang menjadi kewajiban saya untuk melakukannya. Dimana keadaan bisa berbeda-beda, tak bisa dijadikan dasar. Harus ada aturan yang berlaku pada segala keadaan.
2.      Deontologis Aturan: standar tindakan benar/salah adalah aturan. Jadi saya melakukan ini karena sesuai dengan standar dalam aturan. Dimana tidak ada aturan yang bisa berlaku untuk semua keadaan. Terkadang perlu pengecualian. Mengarah ke etika situasi.
Etika Teleologis: ukuran baik-buruk diukur kemudian dari akibat tindakan. Manusia berbuat karena pamrih tertentu = imperatif hipotesis. Etika teleologis juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu utilitatianisme tindakan dan utilitarianisme aturan.
Imperatif kategoris (tindakan): kewajiban. Misalnya: antrian itu merupakan kewajiban.
Imperatif hipotesis (aturan), misalnya: mematuhi lalu lintas.
Beberapa kutipan etika teleologis yaitu:
1.      Menurut Plato & Aristoteles (Eudaemonisme): “baik adalah kesenangan atas sesuatu yang baik; pemenuhan tujuan seseorang”.
2.      Menurut Epicurus (Egoistis): “ baik adalah kesenangan (terutama dalam pikiran), tanpa rasa sakit”.
3.      Menurut Bentham & Mill (Utilitarianisme Hedonistis): “baik adalah kebahagiaan tertinggi untuk orang terbanyak”.
4.      Menurut Moore (Utilitarianisme Ideal): “baik itu tidak bisa dijelaskan, tetapi terkait dengan akibat yang ideal”.
5.      Menurut Spinoza & Spencer (Utilitarianisme Evolusioner): “menjadi baik berarti melakukan aktivitas tertentu secara efisiensi; perbuatan yang baik ditentukan oleh yang kemudian secara evolusioner, dan perbuatan yang lebih kompleks lagi sesudah itu”.
Etika Situasi:
·         Bergantung situasi.
·         Tidak ada ukuran yang pasti.
·         Tidak ada otoritas masyarakat yang dapat mewajibkan secara mutlak.
·         Otoritas itu hanya berlaku dengan syarat. Dipakai atau tidaknya bergantung kesadaran moral individu menurut situasi masing-masing.
·         Etika situasi menuju ke etika fenomenologis (berfungsi sebagai meta-etika).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar